This Blog Copyright © by : damar nurani yulandra pemuda1993: Mengurut Rusuh

Cari Dan Temu

Blog catatan seorang aktifis, pecinta seni, dan mahasiswa.

Tuesday, September 4, 2012

Mengurut Rusuh

 
warning, post dengan sedikit gambar.

Rusuh di Indonesia baru-baru ini terjadi. kasus di sampang menjadikan kita priatin, apakah indonesia sudah tidak aman lagi untuk dijadikan tempat tinggal? banyak faktor yang menyelimuti musibah yang terjadi di sampang, yang paling jelas adalah faktor kebodohan. Ayuk kita urut pake :


Bahan Mengurut Rusuh


Sunni adalah istilah lain untuk ahlus sunnah, tidak ada perbedaan di antara dua istilah ini. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa istilah ahlus sunnah mengandung dua makna, makna luas dan makna sempit.
Tentang makna luas dari ahlus sunnah penulis buku al Wajiz fi ‘Aqidah al Salaf al Shalih Ahlis Sunnah wal Jamaah pada halaman 34 mengatakan, “Sedangkan makna yang lebih luas untuk istilah ahlus sunnah wal jamaah adalah mencakup semua orang yang mengaku dirinya sebagai seorang muslim selain Rafidhah (baca:syiah). Terkadang pula istilah ahlis sunnah digunakan untuk sebagian ahli bid’ah karena mereka bersesuaian dengan ahli sunnah yang murni dalam beberapa permasalahan akidah dan berlawanan dengan akidah aliran-aliran sesat. Akan tetapi penggunaan istilah ahli sunnah dengan pengertian ini lebih jarang dipergunakan oleh para ulama ahli sunnah karena hanya terbatas pada beberapa permasalahan akidah dan berlawanan dengan beberapa aliran sesat tertentu. Misalnya adalah penggunaan istilah ahli sunnah sebagai lawan dari rafidhah (baca:syiah) terkait masalah khilafah dan sikap terhadap para shahabat Nabi dan perkara akidah lainnya”.
Sedangkan pengertian sempit untuk istilah ahli sunnah adalah ahli sunnah ialah orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran Nabi dan para shahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dan meniti jalan mereka baik dalam permasalahan akidah, perkataan dan perbuatan. Mereka adalah orang-orang yang komitmen untuk mengikuti Nabi dan menjauhi bid’ah. Mengikuti jalan mereka dalam beragama adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan.
Definisi ini disimpulkan dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang golongan yang selamat dari kesesatan di dunia dan selamat dari neraka di akherat.
قَالُوا وَمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى
Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Muslim Syi'ah mengikuti Islam sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan Ahlul Bait-nya. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Shī`ī (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.
Etimologi | Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī شيعي. "Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun)
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.

Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu'uddin {masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
  1. Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
  2. Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
  3. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia
  4. Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
  5. Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.
Membicarakan lahirnya Syiah dan Sunni tak ubahnya membaca ulang sejarah awal Islam. Sebuah topic historis yang berusia setua peradaban Islam itu sendiri. Sudah ratusan ulama, ilmuwan dan sejarawan yang menelaahnya, dan mungkin ribuan kitab, buku, tesis hingga manuskrip ilmiah ditulis untuk mengkajinya dari berbagai perspektif, namun topic Syiah-Sunni tetap saja menjadi issu memikat tak hanya bagi pemerhati agama, namun juga bagi sejarawan (dari Ibn’ Khaldun sampai Syekh Dr. Ahmad Amin), ulama, intelektual, hingga musuh-musuh Islam beserta kaki-tangannya yang berusaha mengeksterminasi peran histories Islam dalam pentas peradaban dunia melalui topic-topik sensitive Sunni – Syiah. Kiranya dalam sorotan perspektif kesejarahan inilah tulisan sederhana ini mencoba menjadi bagian dari dialektika histories yang semoga memberikan manfaat dan pencerahan, membuka ruang diskursus yang produktif dan efisien berkaitan dengan sejarah Islam, dan membidas berbagai propaganda murahan dan sarkastis yang banyak memutar-belitkan fakta kebenaran yang dikampanyekan musuh-musuh Islam untuk mendekonstruksi Islam melalui issu-issu Sunni – Syiah (Su-Syi).
Ada sejumlah tema yang menjadi diskursus menyejarah (kalau tidak dibilang sengit) antara dua mazhab besar Islam ini. Mulai dari kepemimpinan agama, politik, social, penafsiran teks agama hingga metodologi ritual keagamaan (syariat dan fiqih). Namun dari semua topic tersebut, banyak kalangan menilai tak ada perdebatan yang lebih panas antara keduanya melebihi persoalan Imamah atau kepemimpinan (agama dan politik). Syekh as-Syahrastani, seorang ulama besar Ahlussunah (Sunni), dalam kitabnya al-Milal wa an-Nihal menulis bahwa tidak ada topic perseteruan Sunni dengan Syiah yang lebih sengit daripada topic Imamah.
Imamah artinya kepemimpinan. Kepemimpinan apa ? Syiah dan Sunni berbeda konsep tentang jawaban dari pertanyaan di atas. Sunni menganggapnya kepemimpinan politik, dalam pengertian ia hanya meliputi berbagai kategori pelaksanaan system hukum dan administrasi public. Sementara Syiah meyakininya sebagai kepemimpinan agama (di mana dalam perspektif keagamaan Islam Syiah, politik hanya salah satu hipostasi imamah agama) dalam pengertian menyeluruh. Karena itu Sunni tidak mensyaratkan criteria yang ketat bagi seorang khalifah (pemimpin). Cukup ia seorang muslim dan berwatak adil. Sementara Syiah –disebabkan mereka mendasarkan kepemimpinan di atas komprehensivitas agama- menentukan prasyarat yang ketat dan massif atas Imamah, yakni antara lain maksum (terpelihara dari dosa), suci, paling berilmu, paling zuhud, paling takwa di antara manusia, wara’ (menjaga diri dari orientasi profanisme atau aspek-aspek duniawi) dan sifat-sifat asketis-esoteris lainnya.
Sejumlah hipotesis dapat diajukan sebagai metode pendekatan untuk menganalis kesejarahan fragmentasi umat Islam menjadi dua mazhab besar, Sunni dan Syiah. Tentu saja dalam suatu pembahasan ilmiah kita menginginkan sebuah metodologi yang efektif dan produktif, sekaligus menjawab beberapa hipotesa yang kita ajukan. Yang perlu saya tegaskan adalah, artikel pendek ini tidak bermaksud mengkaji secara menyeluruh persoalan Sunni – Syiah melalui metode tertentu, melainkan saya hanya menawarkan sebuah pengantar bagi kajian histories Sunni – Syiah melalui topik-topik praktis yang hasilnya saya harapkan membantu pembaca mendapatkan perspektif untuk mengembangkan kajiannya terhadap fenomena Sunni – Syiah
II. Definisi Sunni dan Syiah

II.1. Definisi Sunni

Kita akan memulai pembahasan ini dengan definisi praktis tentang Sunni. Dalam pembahasan keagamaan dan keilmuan, terminology Sunni digunakan untuk menyebut kelompok Ahlussunah, yakni suatu mazhab dalam Islam yang mendasarkan struktur keagamaan, system nilai afektif dan ritual-ritual praksisnya di atas nas-nas Al-Quran, sunah Nabi saw, sunah para sahabat dan generasi tabiin-tabiin. Dengan sendirinya dalam diskursus ini kita menggunakan istilah Sunni untuk menyebut sebuah kelompok sebagaimana definisi di atas. Dalam pengertian yang kita singgung di atas, penggunaan dan interpretasi nas-nas agama haruslah dimaknai secara umum, karena ketiadaan pembatasan jalur periwayatan nas (utamanya sunah Nabi saw) yang disepakati secara ijma’ (consensus) dan dianggap baku oleh ulama-ulama mazhab Ahlussunah. Mereka umumnya memiliki metode verifikasi tertentu yang melaluinya mereka mendefinisikan nas-nas yang mereka anggap otoritatif. Dalam topic ini, kita memiliki contoh bagus dalam kasus perbedaan metodogi verifikasi nas-nas untuk menilai hadis-hadis yang dipandang otentik. Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama besar Ahlussunah penulis kitab masyhur As-Sawaiq Al-Muhriqah, menolak hadis-hadis melalui jalur periwayatan Yahya bin Abi Ya’la Al-Muharibi, karena dinilainya nama terakhir adalah orang yang tidak tsiqah (terpercaya) dalam mekanisme dokumentasi hadis. Dengan kata lain, Ibnu Hajar merumuskan metode verifikasi hadis yang menolak hadis-hadis Yahya bin Abi Ya’la Al-Muhribi. Sebaliknya Al-Bukhari dan Muslim (dua ulama besar penulis kitab hadis Ahlussunah yang dinilai paling otoritatif) menilai Yahya bin Abi Ya’la sebagai otoritatif dalam dokumentasi hadis dan menilai hadis-hadisnya otentik (shahih). Konklusinya adalah Al-Bukhari-Muslim di satu sisi dengan Ibnu Hajar di sisi lain, memiliki perbedaan metode dalam menentukan hadis yang dipandang otentik. Tak syak lagi diferensiasi ini mengakibatkan perbedaan kedua pihak dalam memverifikasi hadis-hadis yang dianggap otentik (shahih) dalam kitab-kitabnya.
Secara histories, terminology Ahlussunah wal Jamaah digunakan pada awalnya oleh Muawiyah bin Abu Sofyan untuk menamakan tahun-tahun fase kekuasaannya yang mulai terkonsolidasi pada kurun 49 – 50 Hijriyah. Menurut para sejarawan, fase ini terjadi setelah terbunuhnya al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib (imam kedua kaum Syiah) pada Rabiulawal 49 H. Sebagaimana terekam dalam sejarah, kurun waktu sesaat setelah wafatnya Nabi Tuhan termulia SAW hingga naiknya bani Umayyah dan lalu bani Abbasiyah secara bergantian ke tampuk kekuasaan, telah terjadi friksi politik dan keagamaan dalam level pertikaian yang luar biasa, hingga hasil akhirnya adalah fragmentasi umat Islam dan mengakibatkan umat Islam tercerai-berai hingga kini. Secara factual tentu saja ini realitas yang mustahil dipungkiri. Karenanya menjadi mudah dimengerti bila fragmentasi masyarakat yang terjadi saat itu, mendorong otoritas kekuasaan (dalam hal ini Muawiyah bin Abu Sofyan) untuk mengkampanyekan konsolidasi politik yang efektif menyentuh strata terbawah masyarakat. Dalam politik ini dikenal sebagai diferensiasi political-mass. Kiranya tujuan di balik penggunaan terminology “Jamaah” digabungkan dengan istilah Ahlussunah adalah jelas dalam paradigma propaganda kekuasaan, yang mana dengan kampanye ini otoritas kekuasaan mendapatkan dua keuntungan sekaligus: pertama, hegemoni atas rakyat dengan memanfaatkan ketakutan psikologis masal yang ditimbulkan oleh penggunaan kata “Jamaah”. Insinuasi kolektif bahkan massal yang hendak dibentuk penguasa adalah bahwa setiap elemen yang berbeda pendapat, bersikap kritis, menjadi oposan, apalagi bersikap sebagai anti-tesis dan melakukan perlawanan terhadap otoritas kekuasaan adalah di luar “Jamaah” dan melawan “Jamaah”. Kedua, diferensiasi massa. Dengan propaganda ini otoritas kekuasaan ingin memetakan musuh-musuh politiknya, baik yang actual maupun yang masih potensial. Kubu-kubu “politis” dengan sendirinya akan terdistribusi menjadi faksi-faksi berdasar terminology ini. Dalam sorotan perspektif inilah pemassalan adagium Ahlussunah wal Jamaah dapat dipahami, setidaknya dalam perspektif dan paradigma penulis.
Secara prinsip-prinsip teologis (akidah), ushuluddin, prinsip-prinsip jurisprudensi, metodologi Ushul-fiqh dan kitab-kitab kodifikasi fiqh Ahlussunah, mazhab Ahlussunah wal-Jamaah merujuk pada suatu kelompok mayoritas umat Islam yang mendasarkan prinsip-prinsip teologisnya pada pandangan-pandangan teologis Syekh Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Syekh Abu al-Mansur al-Maturidi (termasuk dalam topic pengertian ini sebagian pembaharuan teologis yang dilakukan Syekh Ibn’ Taimiyah dan muridnya Syekh Ibn’ Qoyyim al-Jauziyah pada abad 7 H), dan secara fiqh mengikuti metodologi dan produk hukum dari sejumlah mujtahid besar fiqh yaitu Abu Hanifah (Imam Hanafi), Malik bin Anas (Imam Malik), Muhammad bin Idris as-Syafii (Imam Syafii), Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Tak syak lagi karena epistemology ushuluddin dan fiqh inilah mazhab Ahlussunah biasa disebut juga kaum Asy’ariyah atau al-mazhabi fiqh al-arbaah (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah atau Hambaliyah).
Selain aliran teologi al-Asy’ariyah, memang dalam sejarah mazhab Ahlussunah pernah muncul aliran teologi seperti al-Qodariyah yang banyak membawa gagasan kaum Muktazilah yang mulanya dielaborasi dari ide-ide Washl ibn’ Atha’ dan para pengikutnya semisal al-Qadhi Abdul Jabbar dan Ibn Abil Hadid (pensyarah masyhur kitab Nahjul-Balaghah), namun setelah era kekuasaan al-Makmun (dinasti Abbasiyah), ideology ini raib tak terdengar rimbanya seolah ditelan bumi. Secara mendasar, aliran Qodariyah dan Muktazilah mentesiskan kehendak bebas dan otonom manusia secara mutlak dalam system perilaku eksistensialnya, dan menolak campur tangan Tuhan dalam seluruh mekanisme dan proses ontologis dari semua realitas eksistensial manusia (filsafat determinisme humanistic).
Setali tiga uang dengan sejarah isme-isme (aliran) dalam aspek ushuluddin Ahlussunah, pasang-surut aliran metodologi yurisprudensi (ushul-fiqh) juga melanda aspek ushul-fiqh mazhab Sunni. Sebenarnya selain mazhab empat fiqh (mazhabi fiqh al-arbaah) ini, Ahlussunah juga kaya aliran-aliran metodologi fiqh lainnya seperti mazhab Abu Abdullah Sufyan bin al-Tsauri (w 161H), Abu Muhammad Sufyan bin Uyainah (w 198H), Abd’ Rahman bin Amr al-Auzai, Muhammad bin Jarir al-Thabari (w 310 H) dan mazhab Abu Sulaiman Dawud bin Ali (mazhab al-Zahiri). Pada kurun abad 2 – 3 Hijriyah, mazhab-mazhab ini juga berkembang sebagaimana empat mazhab besar Ahlussunah, namun karena ketiadaan dukungan politik dan keberlangsungan institusi akademik, mazhab-mazhab ini umumnya menghilang di abad 4 Hijriyah. Sementara empat mazhab Sunni lainnya tetap eksis dan dapat berkembang karena dukungan politis dan financial dari otoritas kekuasaan saat itu, seperti mazhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) diangkat menjadi qadhi dalam pemerintahan tiga Khalifah bani Abbasiyah: al-Mahdi, al-Hadi dan Harun al-Rasyid. Kitab al-Kharaj adalah literatur yang disusun atas permintaan al-Rasyid dan menjadi rujukan utama mazhab Hanafi. Lalu mazhab Maliki berkembang di khilafah timur atas dukungan al-Manshur dan di khilafah barat atas dukungan Yahya bin Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Masih menurut catatan sejarah, kitab masyhur Imam Malik bin Anas, al-Muwattha’, disusun atas perintah khalifah Abbasiyah al-Manshur ketika sang khalifah memanggil Imam Malik pada saat musim haji 153 H. Bahkan di Afrika al-Muiz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti mazhab Maliki. Mazhab Syafii membesar di Mesir ketika Sultan Salahuddin al-Ayyubi merebut negeri itu. Jauh sebelum kebijakan Salahuddin itu, mazhab Syafii sudah dikenal luas public saat Muhammad bin Idris as-Syafii al-Quraisy (Imam Syafii) sendiri diundang ke istana oleh khalifah Harun al-Rasyid. Sejak itulah Beliau mengajarkan mazhabnya kepada jamaah haji di kota suci Makkah dan mulai tahun 198 H di Mesir, sehingga kitab-kitab Imam Syafii seperti al-Umm, Amali al-Kubra, ar-Risalah, dan lainnya dikenal luas masyarakat. Sedangkan mazhab Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan al-Mutawakkil. Waktu itu salah satu kebijakan keagamaan al-Mutawakkil adalah tidak mengangkat seorang qadhi kecuali dengan persetujuan Imam Ahmad bin Hanbal.
Dalam buku Asad Haedar, dalam menyimpulkan semua fakta ini, Syah Wali al-Dahlawi menulis: “Bila pengikut suatu mazhab menjadi masyhur dan diberi otoritas untuk menetapkan keputusan hukum dan memberikan fatwa, dan tulisan mereka terkenal di masyarakat, lalu orang mempelajari mazhab itu terang-terangan, maka tersebarlah mazhabnya di seluruh penjuru bumi. Bila pengikut mazhab itu lemah dan tidak memperoleh posisi sebagai hakim dan tidak memiliki otoritas apapun untuk mendeduksi suatu keputusan hukum (fatwa), maka orang tidak ingin mempelajari mazhabnya. Lalu mazhab itu pun menghilang setelah beberapa lama.”

II.2. Definisi Syiah

Secara etimologis, Syiah berarti pengikut. Dalam pengertian histories lainnya, istilah ini dapat juga diartikan sebagai pecinta dan penolong, sementara dalam aspek terminologis sejarah konsep ini ditujukan untuk menyebut sekelompok umat Islam yang mendukung dan mengikuti kepemimpinan dan otoritas (imamah / wilayah) Ali bin Abi Thalib setelah wafatnya Rasul Allah termulia SAW yang agung dan suci. Menurut sejarawan Sunni termasyhur (berbeda kontras dengan ulama dan sejarawan Sunni kontemporer semisal Syekh Ibn’ Taimiyah dan Sayyid Rasyid Ridha –murid Sayyid Muhammad Abduh- yang berpendapat kaum Syiah muncul karena elaborasi dan kredo-kredo teologis yang didiskursuskan seorang Yahudi Yaman bernama Abdullah ibn’ Saba’ berdasar riwayat tunggal yang dinisbahkan pada Saif bin Umar), Muhammad bin Jarir at-Thabari dan Ibn’ Hisyam, Syiah pada awalnya adalah terminology yang sering digunakan untuk menyebut sekelompok sahabat Rasulullah SAW yang mendukung dan mengikuti kepemimpinan Ali bin Abi Thalib seperti Abudzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, Miqdad bin al-Aswad, Ammar bin Yassir, Abdullah bin Abbas, Bara’ bin Azzib, Ubay bin Kaab, Saad bin Ubadah, Uways al-Qarani, Khuzaimah, Jabir bin Abdillah al-Anshori, Abu Musa al-Anshori, dan lain-lainnya. Karena alasan inilah banyak tokoh dan sejarawan Ahlussunah menyebut mereka ini sebagai generasi Syiah awal.
Dalam sejumlah fakta histories yang memiliki kredibilitas dan obyektif, kita mendapati banyak kenyataan factual dari peran sejarah generasi Syiah awal ini. Dalam kasus-kasus spesifik namun berimplikasi global seperti pembaiatan Abu Bakar bin Abu Quhafah sebagai khalifah dalam satu pertemuan yang melibatkan Umar bin al-Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah, Basyir bin Saad, Hubab bin Munzhir dan sejumlah orang suku Khazraj di saqifah bani Saidah, topic pertikaian tentang wilayah Ali bin Abi Thalib (Imam Syiah pertama) yang mendiferensiasi para sahabat menjadi dua polar keagamaan, social dan politik, sengketa tanah Fadak antara Khalifah Abu Bakar dengan Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW, wafatnya Khalifah Usman bin Affan, perang Jamal-Shiffin-Nahrawan, syahidnya Ali bin Abi Thalib di Kufah, syahidnya Hasan bin Ali karena diracun, hingga peristiwa tragis dan memilukan yang menimpa Husain bin Ali, keluarga dan pengikutnya di gurun Karbala pada 10 Muharram 61 H, hingga syahid terbunuhnya para Imam Syiah berikutnya secara beruntun dari Ali bin Husain Zayn al-Abidin as-Sajjad sampai Abu Hujjah Hasan bin Ali al-Askari (imam kesebelas), para Syiah ini memainkan kontribusi sejarah yang secara massif memberikan pola dan definisi pemahaman bagi public dan masyarakat non-Syiah terhadap kaum Syiah. Pembahasan detail mengenai kronologi dan berbagai aspek dari sejumlah peristiwa di atas tentu berada di luar kompetensi artikel ini.
Prinsip-prinsip teologis kaum Syiah berdasar pada ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran suci dan hadis-sunah Rasulullah SAW melalui jalur Ahlulbait (keluarga dan imam-imam keturunan Nabi SAW dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra –menurut konsepsi dan akidah kaum Syiah). Ada lima prinsip yang mendasari ushuluddin Syiah, yaitu Tauhid, al-Adalah (keadilan Ilahi), Nubuwah, Imamah dan Ma’ad. Artikel ini juga tidak akan membahas lima subyek tersebut dikarenakan keterbatasan ruang dan menghindari pembahasan yang berat dan melelahkan. Yang ingin penulis garis-bawahi adalah, sebagaimana dalam aspek ini Sunni memiliki kaidah-kaidah teologis al-Asy’ariyah dan sejumlah pembaruan oleh kaum Wahabiyah (gerakan pembaruan Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang merevitalisasi ide-ide Ibn’ Taimiyah dan bermula di Nejd pada abad 11-12 H), Syiah juga memiliki struktur ushuluddin yang komprehensif dan bersumber dari penjelasan para imam Ahlulbait yang mereka yakini berasal dari Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.
Dengan demikian Syiah dapat diartikan sebagai sekelompok umat Islam yang secara keagamaan, social, politik dan cultural mendasarkan pandangan-pandangan hidupnya, standar nilai afektif dan system perilaku dan perikehidupannya pada risalah kerasulan (Nubuwah) Nabi suci Muhammad SAW melalui jalur 12 imam Ahlulbait Nabi SAW. Berbeda dengan gagasan Ahlussunah yang menerima teks-teks keagamaan dari seluruh sahabat Rasulullah SAW, Syiah dalam topic yang sama hanya menerima dari 12 imam dari kalangan Ahlulbait Nabi SAW dan sejumlah kecil sahabat Nabi SAW yang mereka (kaum Syiah) yakini integrasi personal dan otoritasnya.
Penulis juga merasa perlu mengemukakan terminology Ahlulbait. Sunni dan Syiah berbeda pandangan tentang siapa yang dimaksud Ahlulbait. Perbedaan ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat konsepsi ini disebut-sebut Al-Quran suci dan hadis-hadis mulia Rasulullah SAW. Sebagian ulama Sunni berpendapat Ahlulbait adalah isteri-isteri Nabi SAW, sementara sebagian lainnya mengatakan istilah ini menunjuk pada keluarga besar Nabi SAW termasuk isteri, anak, cucu, keponakan dan artikulasi kekerabatan lainnya. Penulis sendiri menggunakan terminology Ahlulbait berdasar definisi kaum Syiah untuk menghindari polemik dan kontroversi peristilahan berdasar sejumlah factor: Pertama, dalam Syiah Imamiyah Itsna’ Asyariyah (Syiah 12 imam) terdapat konsistensi pemaknaan terhadap terminology Ahlulbait. Di mana dalam ilmu logika, bila kita dihadapkan pada kenyataan adanya satu realitas yang harus dipahami dalam sejumlah makna yang berbeda, yang mana ada yang konsisten dan inkonsisten, maka kita pilih makna yang konsisten berdasarkan prinsip-prinsip akal dan algoritma berpikir yang benar. Kedua, penggunaan yang umum dan dominant tentang terminology ini dalam mazhab Syiah. Sebaliknya, meski kalangan Ahlussunah juga memberikan pengertian yang khusus tentang terminology Ahlulbait, namun penggunaannya tidaklah umum dan dominant sebagaimana ia digunakan berikut maknanya secara spesifik dalam tradisi Syiah. Ketiga, para peneliti agama dan kalangan akademik secara umum menerima penggunaan terminology Ahlulbait (berikut maknanya dalam Syiah) diartikulasikan dengan struktur dan konsepsi keagamaan kaum Syiah. Dengan 3 alasan inilah penulis menggunakan istilah Ahlulbait dalam pembahasan artikel dengan makna sebagaimana ia didefinisikan oleh Syiah.
Sebagian ulama yang terpengaruh oleh propaganda musuh-musuh Ahlulbait Nabi SAW dan juga para Nawasib (orang-orang yang membenci keluarga Nabi suci SAW berdasar berbagai motivasi ideologis, orientasi politik, visi sectarian dan ide-ide profanisme semata) menyebut kaum Syiah sebagai kaum Rafidhah. Dalam konteks ini, Rafidhah dimaknai sebagai kaum pembangkang atau kelompok pengingkar. Kaum Syiah disebut sebagai pembangkang atau pengingkar karena mereka menolak mengakui otoritas dan aspek legalitas para khalifah di luar Ahlulbait Nabi SAW. Syiah meyakini imamah (kepemimpinan) agama Islam setelah wafatnya Rasul Allah SAW adalah hak eksklusif dari 12 imam dari kalangan Ahlulbait Rasulullah SAW, dimulai dari Ali bin Abi Thalib dan berakhir pada al-Hujjah bin Hasan al-Askari, dan karenanya mereka secara teoritik dan praksis menolak legalitas seluruh khalifah selainnya. Tentu menjadi sesuatu yang logis jika kemudian mereka menolak mengikuti khilafah di luar Ahlulbait Nabi SAW dan merasa tidak terikat dalam keputusan hukum apapun yang berhubungan dengan kekhalifahan itu. Lantaran inilah sebagian orang menyebut kaum Syiah sebagai pembangkang atau pengingkar. Maksudnya, menurut orang-orang yang memusuhi Syiah (nawasib), mereka membangkang –kecuali pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib- terhadap para khalifah mulai dari Abu Bakar, Umar bin al-Khattab, Usman bin Affan, Muawiyah bin Abu Sufyan, Yazid bin Muawiyah, Marwan bin Hakam, bani Marwaniyin dan Umayyah, sampai bani Abbasiyin.
Bagaimanakah sebenarnya substansi dan hakikat sesungguhnya topic permasalahan imamah ini, penulis berharap para pembaca untuk mengkajinya secara detail dan mendalam berdasar literature Sunni dan Syiah secara ilmiah dan obyektif, demi mendapatkan kesimpulan yang paling benar dan logis tentangnya. Komprehensivitas struktur dan konsep keagamaan kaum Syiah yang berporos pada Imamah Ahlulbait Nabi SAW berimplikasi secara logis pada keseluruhan aspek dan hipostasi keagamaan mereka, termasuk syariat dan fiqh. Lantaran fiqh merupakan derivasi dari akidah, maka tak syak lagi kaum Syiah mengambil metodologi yurisprudensi dan hukum-hukum praksis mereka dari nas-nas suci Al-Quran dan sunah-sunah Nabi SAW melalui jalur 12 Imam Ahlulbait Nabi SAW. Sebagian besar hadis-hadis Nubuwah (kenabian) Rasulullah yang suci SAW yang menjadi rujukan teks keagamaan (nas) tertulis dalam kompilasi hadis Syiah seperti al-Kafi, Bihar al-Anwar, Tuhaf al-Uqul, as-Wasail as-Syiah, dan seterusnya yang tidak mungkin disebutkan seluruhnya di sini. Dalam kontribusi histories sehubungan dengan kompilasi hadis-hadis dari jalur Ahlulbait Nabi SAW ini, peran sejarah yang yang dominant ditunjukkan Imam Syiah keenam, yaitu Jakfar bin Muhammad al-Shadiq, yang banyak mengajarkan nas-nas suci Al-Quran dan hadis Rasul Allah SAW pada para ulama dan pengikutnya (syiahnya). Tidak mengherankan bila fiqh kaum Syiah juga dikenal oleh masyarakat non-Syiah dengan sebutan Fiqh Jakfari, yang diambil dari nama Imam Syiah keenam yaitu Jakfar bin Muhammad al-Shadiq. Penggunaan sebutan ini tidaklah berarti bahwa hukum-hukum praktis (fiqh) Syiah bersumber dari Imam Jakfar al-Shadiq, namun artikulasi terminologis ini hanyalah lantaran pada zaman imamah Jakfar bin Muhammad al-Shadiq inilah Imam Syiah dapat leluasa mengajarkan agama pada umat Islam. Imam Jakfar al-Shadiq mendapat sedikit keleluasaan untuk mengajarkan agama karena pada saat itu dinasti Marwaniyin (penguasa terakhir dari bani Umayyah yang menguasai kekhalifahan) sedang disibukkan oleh pemberontakan dan separatisme, antara lain pemberontakan kelompok Zaidiyah, gerakan Yahya bin Zaid, Abdullah bin Muawiyah, sampai pemberontakan klan-klan Abbasiyah semacam Abu Muslim al-Khurasani. Karena fakta sejarah bahwa Imam Jakfar-lah yang banyak mengajarkan Islam pada masyarakat saat itu, maka masyarakat non-Syiah (di luar Syiah) juga mengenal mazhab Syiah sebagai mazhab Jakfari.
Imam-imam Syiah sebelum Beliau selalu mendapatkan tekanan opresif dari rezim penguasa, kalau tidak dipenjara dapat dipastikan mereka dikenai tahanan rumah. Penulis tidak akan membahas fakta-fakta politis-represif yang dialami para Imam Syiah karena pembahasan detail semacam itu berada di luar jangkauan artikel ini, silakan pembaca mempelajarinya dari kitab-kitab sejarah Sunni maupun Syiah. Kiranya sudah jelas penulis mengeksposisikan definisi Sunni dan Syiah berdasar etimologi, afiliasi keagamaan, dan orientasi social-politiknya. Para pembaca yang berminat dapat meneruskan kajiannya secara detail dan mendalam terhadap berbagai kitab, manuskrip dan literature kedua mazhab tersebut.

III. Sejarah Lahirnya Sunni dan Syiah

Tentu merupakan kepelikan tersendiri memerikan fase-fase sejarah lahirnya mazhab Sunni dan Syiah, dan proses sublimasinya -hingga mencapai bentuknya sekarang- agar memberikan pola pemahaman yang menyeluruh tentangnya dalam keterbatasan ruang artikel ini. Namun penulis mencoba mengkaji ulang subyek ini dengan metode pendekatan politik dan fiqih (termasuk dalam tema ini adalah prinsip-prinsip jurisprudensi fiqih).
Penggunaan metode ini oleh penulis tidak berarti penulis menganggap epistemology kesejarahan Sunni – Syiah berada di luar konteks pendekatan keagamaan, namun ini semata-mata demi menjaga agar artikel ini tetap sederhana dengan topic-topik praktis karena pembahasan topic substansi perbedaan Sunni – Syiah dalam perspektif filosofi keagamaan membutuhkan pengkajian yang lebih detail dan perlu buku tersendiri sebagai ruang penulisannya.
Secara politis, embrio mazhab Sunni sudah terbentuk sejak wafatnya Rasul Allah yang suci SAW pada tahun 11 H (Sunni berbeda pendapat dengan Syiah soal tanggal wafatnya Rasulullah SAW, Sunni berpendapat tanggal 12 Rabiulawal sama dengan kelahiran Beliau SAW, Syiah menetapkan 28 Shofar berdasarkan riwayat-riwayat Ahlulbait). Segera setelah wafatnya Utusan Tuhan termulia SAW, Abu Bakar bin Abu Quhafah, Umar bin al-Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah dan sekelompok suku Khazraj yang diorganisir Hubab bin Mundzhir dan Basyir bin Saad, serta aristocrat suku Aus yaitu Usaid bin Hudhair, bertemu di Saqifah (semacam balairung) bani Saidah untuk membahas suksesi kepemimpinan setelah Rasulullah SAW. Setelah perdebatan antara mereka, alhasil mereka bersepakat membaiat Abu Bakar sebagai pemegang otoritas kekhalifahan. Berita ini segera menyebar cepat dan mendapat dukungan politis dari bani Umayyah yang dinyatakan secara terbuka oleh para tokohnya seperti Ustman ibn’ Affan, Muawiyah bin Abu Sufyan, Marwan bin Hakam, dan juga para sahabat dari suku-suku Arab yang tidak dominant seperti Saad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf (keduanya dari bani Zuhra), Amr bin al-Ash, Khalid bin al-Walid, dan seterusnya (untuk mengetahui detail-detail fakta di atas silakan pembaca menelitinya dalam kitab-kitab tarikh mazhab Ahlussunah antara lain Kitab at-tarikh Muhammad bin Jarir at-Thabari jilid 3, kitab al-Kamil fi at-Tarikh Syekh Ibn’ Atsir jilid 2, Tarikh al-Ya’qubi jilid 2, Tarikh al-Arab wal-Islam dan semacamnya).
Pada sisi yang lain, sejumlah sahabat berpandangan pembaiatan Abu Bakar itu tidaklah memiliki keabsahan keagamaan dan tidak mewakili otoritas politik apapun. Mereka berpandangan demikian karena mereka memiliki visi keagamaan bahwa Ali bin Abi Thalib-lah sang imam yang otoritatif berdasar nas-nas dan hadis-hadis penunjukkan oleh Rasul Allah SAW terhadap Ali bin Abi Thalib yang mereka yakini bersumber dari Rasul Allah SAW sendiri. Sejumlah sahabat yang memiliki pandangan semacam ini menurut literature sejarah Sunni dan Syiah –selain tentu saja kalangan Ahlulbait sendiri- antara lain Abudzar al-Ghifari (Jundab bin Junadah), Salman al-Farisi, Ammar bin Yassir, Abbas bin Abdul Mutthalib, Abdullah bin Abbas, Ummul-Mukminin Ummu Salamah, Ubay bin Kaab, Bara’ bin Azhib, Miqdad bin al-Aswad, Uways al-Qarani, Khuzaimah, Jabir bin Abdillah al-Anshori, Abu Musa al-Anshori, Saad bin Ubadah, Malik al-Asytar, Hujr bin Adiy, dan seterusnya (beberapa manuskrip sejarah juga mengindikasikan nama Abu Hudzaifah, Abu Said al-Khudri, dll). Untuk mengetahui nama-nama sahabat yang merupakan “Syiah generasi awal”, silakan pembaca mempelajari kitab sejarah dari kalangan Ahlussunah seperti kitab Tarikh Imam Bukhari, Tarikh Muhammad bin Jarir at-Thabari, Tarikh Ibn’ Hisyam atau Tarikh Syekh Ibn’ Qutoibah.
Kelompok sahabat yang membaiat Abu Bakar berpendapat bahwa karakteristik kenabian hanyalah berhubungan dengan aspek ubudiyah (ritus-ritus ibadah yang bersifat eskatologis saja seperti salat, puasa, haji, dll) semata, sementara dalam dalam muamalah dan segala ketetapan hukum yang bersifat social dan profanistik, umat Islam dapat berijtihad menentukan produk hukum berdasar prinsip musyawarah (syura) sebagaimana secara prinsipil telah digariskan dalam Al-Quran. Dalam paradigma inilah personifikasi kenabian dalam diri Rasulullah SAW harus dipahami dalam dua karakteristik, personal ataukah suprapersonal. Dalam visi keagamaan mazhab Ahlussunah, ketika Rasulullah SAW mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan ritus-ritus ibadah, maka itu merupakan dimensi wahyu Ilahi yang harus ditaati (karakteristik suprapersonal). Namun bila kata-kata Rasulullah SAW itu berhubungan dengan aspek-aspek politik dan public-kemasyarakatan, maka itu merupakan opini pribadi Beliau SAW yang tidak lain adalah ijtihad Beliau SAW dan bersifat tidak mengikat, alih-alih dapat diijtihadi mengingat dalam kredo dan doktrin formal mazhab Ahlussunah –Rasulullah SAW adalah manusia biasa yang bisa saja khilaf dan salah dalam menentukan perspektif suatu persoalan public. Banyak contoh dalam riwayat-riwayat mazhab Ahlussunah yang menyebutkan bahwa dalam sejumlah peristiwa Rasul SAW salah menentukan kebijakan dan dikoreksi para sahabat seperti Umar bin al-Khattab, Abu Bakar, Hubab bin Mundzhir dan lainnya (salah satu contoh penting adalah “peristiwa hari kamis” dalam kitab as-Shahih al-Bukhari saat Rasul SAW meminta pena dan kertas untuk menuliskan wasiat menjelang wafatnya Beliau SAW dan Umar segera memperingatkan Nabi suci SAW untuk tidak menulis wasiat, atau ketika Rasul SAW salah menunjuk Usamah bin Zaid sebagai panglima perang ke Mu’tah dan dikoreksi sejumlah sahabat senior, dan masih banyak kasus lainnya, silakan anda mengkajinya dalam kitab-kitab hadis dan tarikh mazhab Ahlussunah). Selain itu argument kedua dari kelompok sahabat yang membaiat Abu Bakar adalah tidak mungkin Rasulullah SAW meninggalkan wasiat penunjukkan seseorang sebagai Washy (penerima wasiat kepemimpinan) Beliau SAW dikarenakan karakteristik agama Islam yang demokratis. Islam adalah agama yang secara prinsipil hanya menentukan dimensi-dimensi spiritualisme dan berbagai artilukasinya, sementara hipostasi-hipostasi profanistik kehidupan umatnya diserahkan kepada mereka sendiri konsepsi dan metodologinya. Dengan demikian tidaklah relevan bila ada sejumlah orang yang berpandangan bahwa Rasulullah SAW menetapkan washy sebelum Beliau SAW wafat. Berkaitan dengan realitas kelompok sahabat yang meyakini wilayah (otoritas) imamah Ali bin Abi Thalib sebagai washy Rasulullah SAW, kelompok sahabat yang mengikuti kekhalifahan Abu Bakar berpendapat adalah merupakan suatu kemustahilan bahwa kenabian dan keimamahan berkumpul dalam satu keluarga, yaitu bani Hasyim (karena Rasul Allah SAW dan Ali bin Abi Thalib adalah berasal dari satu keluarga bani Hasyim). Dalam kategori ini, dokumentasi histories yang relevan tertulis dalam kitab sejarah mazhab Ahlussunah al-Idhah hal 87 dan kitab Natsr ad-Durr jilid 2 hal 28 mentranskrip kata-kata Umar bin Khattab ketika menjawab Ali bin Abi Thalib berkenaan dengan khilafah, Umar berkata: “Orang Arab tak mau kalau kenabian dan kekhilafahan ada di satu keluarga. Kenabian merupakan bagian dari kalian, karena itu biarlah kekhalifahan menjadi bagian dari keluarga lain.” (silakan meneliti lebih detail teks dialog Umar bin al-Khattab dengan Ali bin Abi Thalib tentang kekhalifahan dalam kitab-kitab Ahlussunah antara lain al-Idhah, hal 87, Natsr ad-Durr, jilid 2, hal 28, Ansab al-Asyraf, jilid 1, hal 582, kitab ar-Ridhah, hal 39).

Kelompok sahabat yang mengikuti wilayah (otoritas) imamah Ali bin Abi Thalib mendasarkan pilihan obyektif mereka berdasarkan nas-nas dan hadis-hadis Rasulullah SAW yang mereka yakini berkenaan dengan imamah dan wilayah Ali bin Abi Thalib. Salah satu nas masyhur dalam topic ini adalah hadis al-Ghadir. Dalam kitab-kitab hadis dan tarikh Sunni (antara lain as-Shahih Bukhari dan Muslim) dan Syiah disebutkan bahwa saat Rasulullah SAW dan umat Islam pulang dari pelaksanaan haji wada’ tahun 11 H, Rasulullah SAW dan rombongan umat Islam berhenti di sebuah tempat antara Makkah dan Madinah bernama Ghadir Khum. Di tempat inilah dari atas mimbar Beliau SAW di depan 120.000 orang (sebagian riwayat menyebut 80.000, perbedaan angka ini tidak signifikan, fakta yang diverifikasi di sini adalah umat Islam yang hadir di Ghadir Khum mencapai angka puluhan ribu) menyampaikan pidato panjang Beliau SAW yang substansial dan mengharukan. Saat itulah Rasulullah SAW menunjuk dan melantik Ali bin Abi Thalib sebagai washy dan imam sepeninggal Beliau SAW, juga memerintahkan umat Islam untuk berpegang pada Ahlulbait Beliau SAW.
Salah satu teks riwayat di atas yang tertulis di kitab as-Shahih Muslim jilid 2 halaman 362 berbunyi sebagai berikut: Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menjadikan aku maulanya (pemimpinnya), maka Ali adalah maulanya (pemimpinnya). Ya Allah, bantulah mereka yang mentaatinya dan musuhilah mereka yang memusuhinya.” Hadis dengan redaksi tekstual ini tertulis di kitab-kitab Ahlussunah as-Shahih Muslim jilid 2 halaman 362, kitab al-Musnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) jilid 4 halaman 281 dan Kitab al-Mustadrak al-Hakim jilid 3 halaman 109.
Nas penunjukkan Ali bin Abi Thalib sebagai imam dan washy oleh Rasulullah SAW sebagaimana riwayat di atas menurut para peneliti hadis dan sejarawan dinilai otentik dan mutawatir karena bersumber dari –setidaknya- 20 sahabat termasyhur sendiri seperti Abu Bakar, Umar, Abdullah bin Mas’ud, Ibn’ Abbas, Abudzar ibn’ Junadah al-Ghifari, dan lain-lain. Kitab-kitab mu’tabar mazhab Sunni (Ahlussunah) yang mengkompilasi riwayat ini antara lain:
1. Shahih Muslim jilid 2 hal 362 dan jilid 5 hal 122.
2. Shahih at-Turmudzi jilid 5 hal 328.
3. Kitab al-Musnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) jilid 3 hal 17, jilid 4 hal 281, jilid 5,hal 125 dan jilid 6 hal 33
4. Kitab at-Tarikh Imam Jalaluddin as-Suyuthi hal 73.
5. Kitab al-Mustadrak al-Hakim jilid 3 hal 109, hal 121, hal 148.
6. Kitab al-Khasais Imam an-Nasai hal 24.
7. Kitab al-Manaqib Imam al-Khawarizmi hal 81.
8. Kitab Riyadh an-Nadhirah Syekh Muhammad bin Jarir at-Thabari jilid 2 hal 219.
10. Dan kitab-kitab lain seperti Tarikh al-Bukhari, Kanzul-Ummal, al-Muwattha’ Imam Malik bin Anas (Imam Maliki) dan seterusnya.
Pembaca yang ingin meneliti dan mengkaji teks-teks pelantikan dalam topic di atas silakan membaca kitab-kitab mazhab Ahlussunah tersebut.
Para sahabat yang mendukung kekhalifahan Abu Bakar dan menolak imamah Ali bin Abi Thalib berpendapat kata maula dalam teks pidato Rasulullah SAW di Ghadir Khum tidak bermakna pemimpin, imam atau khalifah, namun sahabat. Alhasil dalam kesimpulan para sahabat dari kubu ini, pidato Rasulullah SAW itu bukan pelantikan Ali bin Abi Thalib sebagai imam dan washy sepeninggal Rasulullah SAW, namun sekedar deklarasi persahabatan Rasulullah SAW dengan Ali bin Abi Thalib. Rasulullah SAW ingin menunjukkan intensitas dan level persahabatan Beliau SAW dengan Ali bin Abi Thalib. Sebagian sahabat lainnya berpendapat bahwa pidato ini bertujuan menunjukkan kepada puluhan ribu umat Islam yang hadir di Ghadir Khum bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin bani Hasyim setelah wafatnya Rasulullah SAW, sementara sebagian lainnya berpendapat pidato itu tidak lebih dari pendeklarasian Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat (maula) bagi setiap kaum mukmin.
Hampir keseluruhan sejarawan, muhaddis dan ulama masyhur mazhab Sunni mengakui otentisitas riwayat al-Ghadir. Sebagian kecil saja yang meragukannya, namun tetap saja mereka tidak berani menolaknya. Bahkan Syekh Ibn’ Taimiyah yang terkenal selalu menolak hadis-hadis keutamaan Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, al-Hasan dan al-Husain (4 orang yang diyakini kaum Syiah sebagai Ahlulbait Nabi SAW dan yang menurunkan 9 imam itrah Nabi SAW dalam konsepsi akidah dan keyakinan kaum Syiah), dalam kitabnya Minhaj al-Sunnah hanya berani mendhaifkannya. Syekh al-Amini menulis kitab al-Ghadir sebanyak 11 jilid (cetakan baru 20 jilid) kitab tebal hanya untuk membuktikan otentisitas (keshahihan) hadis al-Ghadir sekaligus menjawab skeptisisme dalam kitab-kitab Syekh Ibn’ Taimiyah. Dalam menulis kitab al-Ghadir, Syekh Amini melakukan penelitian dan riset literature terhadap 24 kitab sejarah, 27 kitab riwayat, 14 kitab tafsir dan 7 manuskrip ulama besar mazhab Ahlussunah di Mesir, Afrika Utara, Pakistan, India, Hijaz, hingga Irak. Untuk menunjukkan otentisitas hadis-hadis al-Ghadir dan sejenisnya, Syekh al-Mar’asyi al-Tustari juga menulis kitab Ihqaq al-Haqq sebanyak 19 jilid kitab tebal, yang setiap jilidnya seukuran satu jilid Encyclopedia Britannica.
Para sahabat pengikut (syiah) Ali bin Abi Thalib juga berpegang pada hadis Manzilah, La yazallu, Safinah, Madinatul-ilmi, Indzar, historiografi (asbab an-nuzul) ayat Tathir, Mubahalah, Surah al-Insan dan seterusnya yang tidak mungkin penulis sebutkan semuanya di sini. Hadis tentang 12 imam adalah teks popular dalam subyek ini. Dalam kitab-kitab hadis mazhab Ahlussunah tertulis riwayat-riwayat tentang 12 imam yang bersumber dari Jabir bin Samurah dan juga Abdullah bin Mas’ud. Salah satu teks riwayat itu sebagai berikut:
Jabir berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Akan ada dua belas pemimpin dan khalifah.” Kemudian Beliau mengatakan sesuatu yang tidak dapat kudengar. Aku bertanya pada ayahku dan ayahku menjawab: Rasulullah SAW bersabda, “Semuanya dari Quraisy.”
Teks riwayat tentang 12 imam adalah salah satu topic dalam agama Islam yang sangat popular dan orang tidak sedikitpun mendapatkan dalih yang logis untuk meragukannya. Syekh Ibn’ Taimiyah yang terkenal suka menolak riwayat-riwayat keutamaan personal yang dinisbahkan pada Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra dan keturunannya, juga mengakui otentisitas hadis ini, meski berusaha memberikan penafsiran lain dari interpretasi ulama-ulama Ahlussunah lainnya. Syekh Ibn’ Katsir, salah seorang murid Ibn’ Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah berkata: “Di dalam kitab Taurat, terdapat suatu tema yang menunjukkan bahwa Allah yang Maha Besar memberikan kabar baik kepada Ibrahim mengenai kelahiran Ismail dan bahwa Allah akan membangkitkan Ismail dan menambah anak-anaknya dan memilih dua belas orang dari keturunannya dan meninggikan derajatnya.” Kemudian Ibn’ Katsir menambahkan: “Guru kami Allamah Ibn’ Taimiyah berkata, “Keduabelas orang ini adalah sama dengan yang terdapat dalam hadis Jabir ibn’ Samarah ketika Ia memberikan kabar baik tentangnya…”. (kitab Bidayah wa an-Nihayah, Syekh Ibn’ Katsir). Yang lebih menakjubkan adalah (menurut data yang ada di penulis) hadis Nabi suci SAW tentang topic 12 imam telah ditranskrip melalui 270 (baca dua ratus tujuh puluh) jalur periwayatan (sanad) dalam mazhab Sunni dan Syiah, termasuk kitab-kitab besar dan mu’tabar mazhab Ahlussunah seperti as-Shahih Bukhari, as-Shahih Muslim, as-Shahih Turmudzi, as-Sunan Abu Dawud, al-Musnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), al-Mustadrak al-Hakim, dan semacamnya. Untuk mengetahui lebih detail teks hadis tentang 12 imam washy (penerus) Rasulullah SAW dan bahkan nama-nama mereka, silakan pembaca membaca dan menelitinya sendiri melalui kitab-kitab mazhab Ahlussunah antara lain:
as-Shahih al-Bukhari jilid 4 hal 168 (cetakan Mesir tahun 1351 H).
as-Shahih Muslim jilid 6 hal 3 (cetakan Mesir tahun 1334 H) dan bab kitab al-Imarah hadis nomor 3393, 3395, 3396 dan 3397.
Sunan at-Turmudzi, jilid 2 hal 45 dan kitab al-Fitan, hadis nomor 2149.
Sunan Abu Dawud, kitab al-Mahdi, hadis nomor 3731 dan 3732.
al-Musnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), jilid 1 hal 398, bab Musnad al-Basyiriyin hadis nomor 19875, 19901, 19920, 19963, 20017, 20019, 20032 dan 20125, dan jilid 5 hal 106.
as-Shahih Muslim, jilid 6 hal 3 dan hal 4 (dalam syarh Syekh al-Nawawi).
as-Shawaiq al-Muhriqah, Ibn’ Hajar al-Asqalani, hal 11.
as-Shahih Abu Dawud jilid 2 hal 309 dan jilid 2 hal 207 (cetakan Matba’at-Taziyah, Mesir, bab kitab al-Manaqib).
al-Mustadrak ala ash-Shahihayn, jilid 3 hal 618.
al-Musnad al-Mutakhirin min as-Shahabah, hadis nomor 3665 dan 3593, dan edisi kedua Dar al-Ma’rifah, jilid 13 hal 182.
al-Mu’jam al-Kabir, Syekh at-Thabarani, jilid 2 hal 196 dan hal 256.
Yanabi’ al-Mawaddah, jilid 2 hal 315.

Berdasar nas-nas dan hadis-hadis tentang imamah dan keutamaan Ahlulbait Nabi SAW yang tidak terhitung banyaknya dan tersebar di seluruh kitab-kitab hadis Sunni dan Syiah itulah, sejumlah sahabat tetap bersikeras mengikuti otoritas (wilayah) Ali bin Abi Thalib dalam khilafah (imamah) agama, social, politik dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Untuk mengetahui nama-nama sahabat besar yang mengikuti imamah Ali bin Abi Thalib ini, silakan pembaca menelitinya dari kitab-kitab sejarah mazhab Sunni seperti Ma’alim al-Madrisatayn jilid 2 hal 163-166 dan Talkhish as-Syafii hal 76 dan 156.
Sintesa dari dialektis keagamaan, social dan politik ini mendistribusi para sahabat menjadi dua kelompok besar. Syekh Murtadha al-Askary menyebut dua mazhab awal ini sebagai Madrasah Ahlulbait yaitu Ahlulbait dan para pengikutnya, dan yang kedua Madrasah al-Khulafa’. Kelompok pertama terdiri dari Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra dan kedua putranya, dan para pengikutnya seperti Abudzar, Miqdad, Salman, Ammar, Ubay bin Kaab, Bara’ bin Azhib, Ummu Salamah, Abu Rafi’, Ibn Abbas, Hudzaifah, dan seterusnya. Kelompok kedua terdiri dari Abu Bakar, Umar, Ustman, Aisyah, Saad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Ibn’ Umar, Khalid bin Walid, Abu Hurairah, Muawiyah, Marwan bin Hakam, dan seterusnya. Kedua madrasah (kelompok) ini berbeda dalam menafsirkan Al-Quran suci, memandang sunah Rasulullah SAW, memandang maksum atau tidak maksumnya Nabi SAW, penafsiran hadis Nabi SAW, mana sunah yang harus diikuti dan mana yang tidak, hingga melakukan istinbath hukum. Kelak dalam kurun kekuasaan dinasti Umayyah, dalam subyek prinsip-prinsip yurisprudensi dan metodologi ushul-fiqh, Madrasah al-Khulafa bercabang lagi dalam dua mainstream besar, Madrasah al-Hadists dan Madrasah al-Ra’yu. Yang pertama berpusat di Madinah, mendasarkan fiqihnya pada Al-Quran, sunah, ijtihad para sahabat dan sedapat mungkin menghindari ra’yu (akal) dalam menetapkan hukum. Yang kedua berpusat di Irak, sedikit menggunakan hadis dan lebih banyak berpijak pada penalaran rasional dengan melihat sebab hukum (illah) dan tujuan syara’ (maqashidul-syar’iyyah).
Sementara itu Madrasah Ahlulbait tumbuh “di bawah tanah” mengikuti para imam mereka. Karena intimidasi, represivitas dan penindasan opresif, mereka mengembangkan esoterisme dan disimulasi untuk memelihara struktur keagamaan dan system fiqih mereka. Ulama besar Ahlussunah, Syekh Ibn’ Quthoibah, dalam kitabnya al-Ikhtilaf menulis bagaimana raja-raja bani Umayyah berusaha menghapuskan tradisi Ahlulbait dengan meneruskan program Muawiyah bin Abu Sufyan untuk mengutuk Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar masjid dan mimbar-mimbar mereka selama 80 tahun –dari keseluruhan 90 tahun 11 bulan- kekuasaan dinasti Umayyah (tradisi ini sempat berhenti sebentar pada masa Umar bin Abdul Azis yang dikenal bijak dan apresiatif terhadap Ahlulbait, tapi diterapkan kembali oleh Yazid bin Abdul Malik setelah Ia naik tahta menggantikan Umar bin Abdul Azis), membunuh para pengikut (syiah) setianya –seperti kasus pembunuhan terhadap Saad bin Ubadah, Maytsam at-Thaymar, Hujr bin Adiy, dan lainnya, dan mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan tradisi-tradisi hukum Islam yang dilaksanakan Ahlulbait dan pengikutnya.
Tidak jarang sunah Rasulullah SAW yang sahih ditinggalkan karena sunah itu dipertahankan dengan teguh oleh para pengikut Ahlulbait. Dalam memperjelas fakta ini, Syekh Ibn’ Taimiyah menulis perihal tasyabbuh dengan Syiah: “Dari sinilah para fuqaha berpendapat untuk meninggalkan al-mustahabbat (yang sunah) bila sudah menjadi syiar orang-orang Syiah. Karena walaupun meninggalkannya tidak wajib, menampakkannya berarti menyerupai (tasyabbuh) mereka, sehingga Sunni tidak berbeda dengan Syiah. Kemaslahatan karena berbeda dengan mereka dalam rangka menjauhi dan menentang mereka adalah lebih besar daripada kemaslahatan mengamalkan yang mustahabb itu.” Untuk mendapat gambaran yang lebih detail tentang topic ini silakan pembaca mengkajinya dalam kitab mazhab Ahlussunah tentang pemikiran mazhab-mazhab al-Madkhal li at-Tasyri’ al-Islamy, Syekh Faruq Nabhan, cetakan II, tahun 1981.
Kembali pada realitas politis-keagamaan terdistribusinya para sahabat dalam dua kelompok besar paska kongres khilafah di Saqifah bani Saidah tahun 11 H, fakta polarisasi sahabat ini berlanjut sampai proses suksesi dari otoritas Abu Bakar ke otoritas Umar bin al-Khattab melalui mekanisme penunjukkan dari Abu Bakar sebagaimana dokumentasi sejarah menuliskannya dalam pokok bahasan wasiat Abu Bakar. Kemudian pada proses pemilihan Usman bin Affan melalui Dewan Syura yang terdiri dari Usman bin Affan, Saad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubair dan Ali bin Abi Thalib. Dalam kitab sejarah mazhab Sunni, Tarikh Muhammad ibn’ Jarir at-Thabari ditulis saat Abdurrahman bin Auf bertanya kepada Ali bin Abi Thalib:
Abdurrahman bin Auf: “Apakah anda mau bersumpah, dengan mengatakan bahwa jika anda memegang kekuasaan, maka anda akan mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi dan tradisi dua Syekh (yaitu Abu Bakar dan Umar) ?”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Aku hanya akan mengikuti Kitabullah dan sunah Rasul-Nya.”
Abdurrahman bin Auf lalu berpaling kepada Usman dan menanyakan hal yang sama. Usman menyanggupi prasyarat tersebut dan dibaiatlah Usman sebagai khalifah penerus berikutnya. (baca kitab-kitab sejarah Ahlussunah Tarikh at-Thabari, jilid 4 hal 233-238, Tarikh al-Ya’qubi, jilid 2 hal 162, kitab tarikh Ansab al-Asyraf, jilid 4 hal 508, kitab tarikh al-Mushannaf, jilid 5 hal 477).
Dalam filsafat dialektika, kita mengetahui bahwa seluruh proses dialektis berproses menuju sintesa dengan melibatkan secara kontinu semua kategori tesis dan antitesisnya. Pada proses dialektika sejarah Islam di atas, fakta-fakta ini menghasilkan tesis dan antitesis berupa polarisasi sahabat dan generasi selanjutnya berdasarkan motivasi ideologis keagamaan, orientasi politis, ekonomi, social dan cultural. Di satu sisi banyak sahabat mengikuti otoritas kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin al-Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib -sebenarnya masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ini harus dikecualikan dari genre otoritas kekuasaan tiga khalifah sebelumnya dan juga para khalifah setelah Ali bin Abi Thalib dikarenakan pada masa inilah para sahabat yang setia mengikuti Ali bin Abi Thalib secara sukarela mau taat dan tunduk di hadapan otoritas kekhalifahan, Muawiyah bin Abu Sufyan, Yazid bin Muawiyah, keluarga Marwaniah, hingga bani Abbasiyin. Di sisi lain ada kelompok sahabat besar lainnya yang setia mengikuti imamah Ali bin Abi Thalib dan 11 imam dari kalangan Ahlulbait Nabi SAW berdasarkan otoritas nas-nas yang mereka yakini ditetapkan Rasulullah SAW sendiri dan seluruh teks itu membicarakan subyek-subyek imamah (kepemimpinan).
Tentu merupakan sikap tidak logis mereduksi dan mengesampingkan fakta eksistensi kaum Syiah dalam perspektif histories yang sedemikian ideologis dalam kajian-kajian eksistensial Islam sebagai fenomena institusi keagamaan, spiritualisme, social, politik hingga pola-pola kultural. Nama-nama Syiah awal semacam Abudzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, Miqdad al-Aswad, Ammar bin Yassir, Abbas bin Abdul Mutthalib, Abdullah bin Abbas, Ummu Salamah, Maytsam at-Thaymar, Saad bin Ubadah dan seterusnya adalah existenz sejarah yang terlalu konyol dan irrasional rasanya sebuah gagasan untuk mengeliminir-nya dari fakta sejarah Islam, dan menggantikannya dengan adagium apologetic yang tidak banyak menghibur: “pertikaian para sahabat tentang kekhalifahan hanyalah persoalan ijtihad yang sama-sama benar dan fitnah itu akibat hasutan si munafik Yahudi Yaman Abdullah ibn’ Saba’.” Ini jenis epistemology Syiahisme versi sang volunteer Yahudi Sabaisme. Skriptualisme sejarah versi sang Yahudi Yaman ini sebagai berikut: Seorang Yahudi dari Yaman bernama Abdullah bin Saba’ masuk Islam dengan sejumlah motivasi dan gagasan subversive untuk mengeksterminasi Islam secara internal. Sebagian ulama sejarawan Ahlussunah berbeda pendapat tentang masuk Islamnya Ibn’ Saba’. Sebagian berpendapat di masa kekhalifahan Abu Bakar, sebagian lainnya di masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Untuk membaca beragam versi ini, silakan membaca buku-buku sejarah Islam kontemporer versi Ahlussunah seperti kitab sejarah Sayyid Rasyid Ridha, Syekh Ahmad Amin, Syekh Dr. Taha Hussein dan sejenisnya. Setelah eksistensinya diterima kalangan Islam, mulailah Ibn’ Saba’ mendispersikan kredo-kredo keagamaan Yahudi dan menisbahkannya pada sosok-sosok terkemuka Islam seperti Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait Nabi SAW. Substansinya Ibn’ Saba’ ini mengajarkan pada umat Islam untuk setia kepada Ali bin Abi Thalib, Ahlulbait dan keturunannya, bahwa Ali bin Abi Thalib itu akan mengalami raj’ah (kebangkitan setelah kematian), bahwa teks-teks keagamaan tentang topic imamah Ali bin Abi Thalib adalah hasil reproduksi Saba’ dan para koleganya, dan ide-ide sejenis ini yang kini menjadi konsepsi akidah dan keagamaan kaum Syiah. Alhasil diskursus sang subversive ini berhasil membentuk paradigma berpikir para sahabat besar yang secara simultan menghasilkan konflik terbuka antara pendukung kekhalifahan dan pendukung Ali bin Abi Thalib. Titik kulminasi konflik terbuka ini adalah terbunuhnya khalifah ketiga Usman bin Affan hingga provokasi perang Jamal dan Shiffin. Masih menurut versi ini, Dr. Hidayat Nurwahid, ulama besar Islam Indonesia, mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ ini dibuang oleh Ali bin Abi Thalib ke Madain, ibukota kerajaan Persia, di masa kekhalifahannya. Dalam artikelnya yang berjudul Kelompok-kelompok yang Parsial dalam Memahami Aqidah yang Mengandalkan Perasaan, Dr. Hidayat Nurwahid menulis: “Kelompok syi’ah mati-matian mem-fiktif-kan Ibnu Saba’ ini dan menyatakan hadits tentang Abdullah bin Saba’ ini hanya melalui jalur Abu Mihnah saja, padahal juga terdapat dalam al-Musnad oleh Imam Ahmad, Ta’zhim wa Tahdzib oleh Ibnu Hajar, dll. Ibnu Saba’ ini lalu dibuang oleh Ali ra ke Madain karena kesesatan ajarannya.”
Bagaimanakah sebenarnya kontroversi tentang eksis atau tidaknya sang legendaries Abdullah bin Saba’ yang sedemikian jeniusnya sampai mampu mengindoktrinasikan beberapa gagasan illegal ke struktur alam pra-sadar para sahabat besar (Abudzar, Salman, Ammar, Miqdad, Ibn’ Abbas dan seterusnya) hingga mereka mau saja diagitasi untuk menolak otoritas kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman, dan yang lebih dramatis pada zaman Ali bin Thalib mereka mau diprovokasi mengagendakan dua perang besar –Jamal (kubu Aisyah-Thalhah-Zubair melawan kubu Ali bin Abi Thalib) dan Shiffin (kubu Muawiyah melawan kubu Ali bin Abi Thalib), jika ada: benarkah sang jenius Yahudi ini merupakan bapak Ideologi Syiahisme, bagaimana peran historisnya yang spektakuler itu dapat mendistorsi jalan sejarah Islam, dan pertanyaan-pertanyaan lain, untuk mendapatkan jawaban yang ilmiah dan kesimpulan logis dari pertanyaan di atas, silakan pembaca meneliti, mengkaji dan menganalisanya sendiri secara detail dan mendalam dalam ratusan kitab hadis, riwayat, sejarah dan historiografi mazhab dari kalangan mazhab Ahlussunah. Yang harus dicermati adalah obyektivitas kita dalam meneliti sejarah. Bagaimanapun sejarah bukanlah sesuatu yang diproduksi dari ruang vakum, terlepas dari determinisme peran manusia dan kondisi sosiologis-kulturalnya, namun ia memiliki artikulasi logis dengan manusia dan berbagai latar belakang sosiobudayanya karena masyarakat manusialah yang mendominasi arah sejarah dan mendeterminasinya sesuai kehendak dan worldviewnya. Pengabaian aspek-aspek ini sama saja artinya kita menolak pemahaman aksiomatik bahwa masyarakat bukanlah fenomena material semata, namun juga merupakan fenomena spiritual.
Penulis memiliki pandangan bahwa kajian terhadap realitas histories munculnya mazhab Syiah dan Sunni melalui topic-topik praktis tentang imamah (konsepsi dan fakta sejarahnya), sejarah ushul-fiqh dan –lalu- struktur dan system fiqih, akan membantu kita menentukan perspektif untuk mengembangkan lebih jauh kajian terhadap fenomena Syiah dan Sunni. Selamat berpikir dan mengkaji!

No comments:

Post a Comment