This Blog Copyright © by : damar nurani yulandra pemuda1993: MENUNTUT RUANG UNTUK PUBLIK (Kasus Proyek Megalomaniak RITA MALL di Purwokerto)

Cari Dan Temu

Blog catatan seorang aktifis, pecinta seni, dan mahasiswa.

Thursday, September 6, 2012

MENUNTUT RUANG UNTUK PUBLIK (Kasus Proyek Megalomaniak RITA MALL di Purwokerto)

MEGALOMANIAK !!!
Oleh:Gus  I’ank *
Peradaban yang selalu mengaggungkan fisik
Gedung-gedung tinggi menjulang
Segala dibuat megah dan mewah
Jalan semakin lebar
Tapi kecelakaan seperti pembunuhan masal
Kota penuh hiasan lampu-lampu
Tapi anak-anak kampung menikmati pemadaman lampu
RAKYAT TERUS TERGUSUR !!
PENYAKIT MEGALOMANIAK !!
Mengaggungkan kesempurnaan bentuk…
Apakah peradaban kita akan dan hanya terus penampilan tampak luar saja ??
Peradaban barat yang sangat makmur
Segala sesuatunya berjalan sangat tertib dan teratur
Sehingga orang berlaku seperti robot dijalan
Toh angka bunuh diri tetap jalan
*Presiden Jemaat TaiNgasu


 
MENUNTUT RUANG UNTUK PUBLIK!
(Kasus Proyek Megalomaniak RITA MALL di Purwokerto)
Oleh: R.B. Alvin Y.Sandy S.I.Kom*
Semacam Pengantar
Sepenggal puisi yang memang mencerminkan kondisi pembangunan saat ini yang hanya berorientasikan fisik. Pembangunanmacam yang dilakukan secara tergesa-gesa atas nama investasi tanpa mempertimbangkan dampak sosiologis, psikologis dan budaya masyarakat setempat. Saat ini Banyumas sedang dihadapkan pada proyek-proyek besar pembangunan yang dilakukan oleh korporasi swasta.
Atas nama investasi dan pembangunan bisa saja pembangunan besar-besaran ini dibenarkan, tapi benarkah bahwa pembangunan besar-besaran ini adalah yang sebenar-benarnya kita butuhkan?
Saya mengajak kawan-kawan melihat pembangunan ini dari sudut pandang publik, yang mulai kehilangan ruang-ruang publiknya, saat ini sangat sulit menemukan ruang-ruang bermain untuk anak-anak, yang masih dalam jangkauan anak bermain, dalam satu lingkup kelurahan saja, sulit ditemukan ruang-ruang bermain yang disediakan oleh pemerintah daerah di Banyumas sebagai ruang eksplorasi anak-anak daerah untuk mengembangkan bakat dan intelegensianya.
Ruang Publik Kita?
Sebut saja taman kota di bekas terminal lama, dapatkah dikatakan sebagai ruang publik yang terbuka?, tidak!, ruang publik menurut definisi saya (merujuk Habermas), adalah ruang terbuka yang mampu diakses oleh berbagai strata dan golongan masayrakat. Maka salah jika taman kota (di bekas terminal lama) disebut sebagai ruang publik, melainkan ruang konsumtif bagi masyarakat yang mampu dan memiliki uang lebih untuk sekedar berefresing. Bagi yang tidak memiliki uang lebih tentu enggan untuk datang ke sana, mulai dari parkir (tembok keliling yang jelas tidak terbuka), lalu kios-kios makanan dan wahana-wahana berbayar yang tentu cukup mahal bagi masyarakat menengah kebawah, belum lagi akses yang jauh bagi anak-anak itu sendiri, ini bukan seperti taman bermain yang dapat dibayangkan, ini jelaslah wahana konsumtif. Sedikit miris, ketika pihak pemkab justru melihat potensi bisnis dengan minimnya taman kota (bermain) saat ini; Beginikah kharaktersitik pemerintah kabupaten Banyumas sekarang ini?, standar penikmat taman kota sudah difilter berdasarkan ekonomi.
Jangankan mengacu pada standar SNI 03-1733-2004, tentang cara perencanaan lingkungan di perkotaan - tentang ruang bermain minimum bagi anak-anak yang harus difasilitasi minim di tingkat RT, pemerintah daerah justru sibuk membangun taman-taman kota sebagai proyek besar, yang efeknya justru kurang terasa bagi masyarakat pada umumnya, hal inilah yang kita sebut sebagai sifat MEGALOMANIAK, yang diterapkan oleh rezim-rezim diktator pada masa perang dunia ke-2 di era Hittler, Mussolini, atau bahkan Soeharto yang pembangunan fisik terlihat “wow” dan ternyata berpondasikan keropos.
Mempertahankan Identitas.
Saya masyarakat Banyumas tidak berharap banyak,  saya melihat bahwa alun-alun sebagai satu-satunya simbol budaya kota-kota administratif di Jawa, selain sebagai simbol ruang publik, yang memang dulu digunakan oleh publik untuk melakukan komunikasi dengan para pemimpinnya, alun-alun juga simbol kewibawaan pemerintah, dengan berbagai kearifan lokal, dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, sebut saja salah satunya pendirian pendopo Si Panji yang menggunakan perhitungan geografis merupakan garis lurus dari puncak gunung selamet hingga lurus keselatan laut selatan, hal ini bukan soal kuno dan mistis, soal kebanggaan dan identitas kebudayaan, siapa dan dari mana kita berasal.
Seperti latah pemerintahan saat ini merujuk modernitas ala bangsa barat yang memiliki sejarah kolonialis, tentu berbeda dengan bangsa kita (dikolonilisasi/ bangsa terjajah/ bangsa pribumi), sejarah mereka mengarahkan pada ekspansi (sebut saja Amerika dan Australia), proses pembangunan peradaban mereka tidak memiliki budaya asal, mereka menghancurkan budaya ditempat mereka mendirikan koloni, bangsa Amerika menghancurkan budaya suku Indian, bangsa Australia menghancurkan budaya suku Aborigin,  bangsa-bangsa itu seperti kehilangan identitas, dengan belajar-belajar budaya bahkan dari bangsa kita, belajar arsitektur dari Eropa, belajar moral (China dan Jepang), lantas pertanyaanya haruskan Bangsa Indonesia ini menghancurkan Identitasnya sendiri ?, bangsa ini memang bangsa terjajah, namun semestinya kita harus sadar bahwa untuk menghilangkan kharakter-kharakter dan budaya kolonialis pasca sepeninggalan mereka, saya mengajak kawan-kawan sekalian untuk berpikir.
Bangsa Eropa dan bangsa Asia Timur (Inggris, Scotlandia, Jepang, China, dan Korea contoh kecilnya), memiliki kesadaran tinggi akan nilai etika, estetika dan logika dalam setiap aspek pembangunannya, bukan malah atas nama modernitas mereka merendahkan serta mencap kuno dan mistis tentang budaya lokal, justru mereka malah tetap mempertahankan gedung-gedung tuanya, mempertahankan kota-kota tuanya, serta tata kotanya yang memiliki perhitungan evolutif dari jauh berabad-abad yang lampau yang meiliki nilai kearifan lokalnya sendiri, logika boleh kuat, namun harus tetap berestetika dan beretika.
Komunikasi Simbolis
Pada titik ini saya mengkritik pembangunan RITA MALL yang berdiri di dekat dan atau didepan alun-alun kota Purwokerto, alun-alun dengan nilai kearifan lokal dan identitas kebudayaan yang sudah ada, nilai dan kearifan lokal yang merupakan hasil olah evolutif peradaban asli Banyumas (Jawa), sekali lagi ini bukan soal kuno dan mistis, tapi ini soal identitas asal, jangan sampai bangsa ini (kota ini) kehilangan identitas budayanya, bukan tanpa alasan adanya perda tentang tinggi bangunan di sekitar Pendopo Si Panji (perda nomor 6 tahun 2002 point c) bahwa “ketinggian bangunan di lokasi sekitar pendopo Si Panji maksimum 3 lantai dengan ketinggian 12 meter dari permukaan jalan”, tentu memiliki perhitungan estetika sendiri.
Semiotika merupakan cara menginterpretasikan suatu bentuk, gerak, warna yang muncul dalam komunikasi non verbal secara kasat mata, kita bisa menginterpretasikan bahwa tinggi memiliki definisi makna kewibawaan, dengan seting Gunung Selamet dibelakangnya pendopo si Panji memiliki wibawa serta kesan estetika yang klasik dan indah. Bagaimana bila kemudian tepat di depannya bediri gedung modern dan megah, tentu ini merupakan kontras yang kurang nilai estetika dan wibawanya, lagi-lagi soal ketinggian bukan soal kuno dan mistis, tapi ini soal estetika dan kesan wibawa pemerintah daerah yang muncul, sekaligus juga soal identitas asal serta kesan klasik yang muncul, berdirinya gedung modern tentu memiliki pengaruh sosiologis dan psikologis pada publik.
Logika awam saja, tentu tidak masuk akal jika pusat administrasi dipersatukan dengan pusat ekonomi, kita bisa membayangkan jika istana negara bergabung dengan kompleks mall, peta lokasi pembangunan ini akan lebih arif ditata berdasarkan fungsi-fungsinya, apalagi sangat aneh munculnya perbub nomor 85 tahun 2010 yang berkesan sangat dibuat, buat, lahirnya peraturan bupati tentang lokasi batas pendopo si panji, orang awampun bisa menilai ini sangat dipaksakan, lokasi yang jelas-jelas berhadapan, dianggap bukan berada dilokasi pendapa si panji.
Perspektif Ekonomi dan Etika Bisnis
Secara ekonomis, memang benar bahwa ini mampu menyerap banyak tenaga kerja, namun juga harus diperhitungkan berapa banyak pasar traditional, dan toko-toko kelontong yang di sekitar kehilangkan penghasilannya. belum lagi pasar traditional (pasar manis) yang jika ditarik garis lurus masih dalam jawak 500 meter dari lokasi RITA Mall, kalaupun menurut perhitungannya tetap positif, mengapa di investasi ini tidak dilakukan ditempat yang lebih tepat?, misal untuk pemerataan ekonomi bisa pula dibangun di daerah pinggiran (selain pertimbangan diatas soal estetika dan ruang publik), kita bisa mencontoh pembangunan di Jogjakarta, mall dibangun di daerah-daerah pinggiran (tidak di keraton atau komplek alun-alun yang ramai), atau mencontoh etika bisnis yang dilakukan Carrefour mereka memiliki “self regulation” (aturan diri) untuk membangun hypermart mereka di perbatasan kota, toh bisnis skala besar seperti ini akan membentuk pasarnya sendiri, berbeda dengan analisis bisnis menengah dan kecil, yang membutuhkan keramaian.
Sedikit curiga pemerintah kita ini menjual ruang publik kita, menjual identitas kita yaitu alun-alun yang mendatangkan keramaian (berkumpulnya publik) pada korporasi yang tidak beretika ini, sama persis ketika pemerintah mengkomodifikasi (menjual) minimnya ruang bermain (taman kota) dengan membuat taman berbayar, memang modernitas adalah keniscayaan, namun modernitas juga harus tetap mempertimbangakan identitas awal kita, memperhatikan ruang publik, memperhatikan ruang bermain, serta berbasiskan pemerataan ekonomi, pada dasarnya pembangunan haruslah berpihak pada kebenaran yang sebenar-benarnya, yang mengedepankan etika, estetika serta logika.
Sedikit Tuntutan
Berdasarkan sedikit penjabaran diatas dapat disimpulkan, dalam menerapkan berbagai kebijakan pembangunan, sebaiknya pemerintah daerah, parlemen dan elemen bisnis sendiri untuk memperhatikan:
1. Ketersediaan ruang publik
2. Ketersediaan ruang bermain anak
3. Memperhatikan identitas budaya
4. Menghargai kearifan lokal dan simbol-simbol didalamnya
5. Serta ber-etika, estetika dan logis dalam berbisnis
6. Pemerataan pembangunan dan perekonomian
7. Kelestarian sumber daya alam

Secara spesifik dan khusus pembangunan proyek Megalomaniak yang terdekat saat ini yaitu pembanguan RITA MALL, bagi saya kurang tepat dan tidak tepat, maka dengan ini saya menyatakan sikap menolak pembangunan RITA MALL di dekat dan atau di depan alun-alun Purwokerto.

*titipan temen ku, alvin yulityas sandy (aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi dan Pengamat Kebijakan Komunikasi)

No comments:

Post a Comment